Minggu, Mei 31, 2009

Sendal Jepit Istriku

Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal
dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh, betapa
tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti ini,
makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah.
Sayur sop rasanya manis bak kolak pisang, sedang
perkedelnya asin tak ketulungan.

"Ummi... Ummi, kapan kamu dapat memasak dengan benar?
Selalu saja, kalau tak keasinan, kemanisan, kalau tak
keaseman, ya kepedesan!" Ya, aku tak bisa menahan
emosi untuk tak menggerutu.

"Sabar Bi, Rasulullah juga sabar terhadap masakan
Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak Rasul? ucap
isteriku kalem.

"Iya. Tapi Abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar
seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus menerus
seperti ini!" Jawabku masih dengan nada tinggi.

Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat
isteriku menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah
begitu, aku yakin pasti air matanya merebak.

***

Sepekan sudah aku ke luar kota . Dan tentu, ketika
pulang benak ini penuh dengan jumput-jumput harapan
untuk menemukan baiti jannati di rumahku. Namun apa
yang terjadi? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa
yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah
mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah
kontrakanku tak ubahnya laksana kapal pecah. Pakaian
bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini.
Piring-piring kotor berpesta-pora di dapur, dan
cucian, wouw! berember-ember. Ditambah lagi aroma bau
busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam
dengan deterjen tapi tak juga dicuci. Melihat keadaan
seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut
dada.

"Ummi... Ummi, bagaimana Abi tak selalu kesal kalau
keadaan terus menerus begini?" ucapku sambil
menggeleng-gelengka n kepala. "Ummi... isteri sholihah
itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga
harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah
tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju,
beresin rumah?"

Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan
tangis isteriku yang kelihatan begitu pilu. "Ah...
wanita gampang sekali untuk menangis," batinku. "Sudah
diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri
shalihah? Isteri shalihah itu tidak cengeng," bujukku
hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai.

"Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah
ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena
memang Ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan
untuk kerja, jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah
terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali,"
ucap isteriku diselingi isak tangis. "Abi nggak
ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil
muda..." Ucap isteriku lagi, sementara air matanya
kulihat tetap merebak.

Hamil muda?!?!

***

Bi..., siang nanti antar Ummi ngaji ya...?" pinta
isteriku.

"Aduh, Mi... Abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat
sendiri saja ya?" ucapku.

"Ya sudah, kalau Abi sibuk, Ummi naik bis umum saja,
mudah-mudahan nggak pingsan di jalan," jawab isteriku.

"Lho, kok bilang gitu...?" selaku.

"Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala
Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi
ditambah berdesak-desakan dalam dengan suasana panas
menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak
kenapa-kenapa, " ucap isteriku lagi.

"Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja," jawabku
ringan.

Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan.
Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput
isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi
rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku
mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu
berjajar, ini pertanda acara belum selesai.
Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu
satu persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan
harganya begitu mahal."Wanita, memang suka yang
indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu," aku
membathin. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada
sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah.

Dug! Hati ini menjadi luruh.

"Oh....bukankah ini sandal jepit isteriku?" tanya
hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang
tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh
tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru
sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan
isteriku. Sampai-sampai kemana ia pergi harus
bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya
bersepatu bagus.

"Maafkan aku Maryam," pinta hatiku.

"Krek...," suara pintu terdengar dibuka. Aku
terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping.
Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong
bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah
warna baju dan jilbab umminya. Beberapa menit setelah
kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti
yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku
menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu,
tapi isteriku belum juga keluar. Penantianku berakhir
ketika sesosok tubuh berabaya gelap dan berjilbab
hitam melintas. "Ini dia mujahidahku! " pekik hatiku.
Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau
yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya
memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula
warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan
berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri.

Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum
pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku
terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurang an
isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak
kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar menjadi
malu pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu
sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah
kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: "Yang terbaik di
antara kamu adalah yang paling baik terhadap
keluarganya. "

Sedang aku? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah
menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan
baik. Sedang aku terlalu sering ngomel dan menuntut
isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya.
Aku benar-benar merasa menjadi suami terzalim!

"Maryam...!" panggilku, ketika tubuh berabaya gelap
itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku,
pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas
kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat
perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum
bahagia.

"Abi...!" bisiknya pelan dan girang. Sungguh, aku baru
melihat isteriku segirang ini.

"Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput
isteri?" sesal hatiku.

***

Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku.
Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang
dari bibirnya. "Alhamdulillah, jazakallahu. ..,"ucapnya
dengan suara tulus.

Ah, Maryam, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu.
Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang
aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud dan 'iffah
sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa
nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar
karena perhatianku?

1 komentar: