Selasa, Juni 09, 2009

Segenggam garam

Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung masalah. Langkahnya gontai dan aoir muka yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang tak bahagia.

Tanpa membuang waktu, pemuda itu menceritakan semua masalahnya. Pak tua yang bijak hanya mendengrakan dengan seksama. Lalu ia mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu ke dalam gelas lalu diaduknya perlahan. “Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya.” Ujar Pak Tua itu.
“Pahit sekali”, jawab sang tamu, sambil meludah ke samping.
Pak tua itu, lalu kembali menaburkan segegennga garam ke dalam telaga. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air mengusuk ketenganan telaga itu. “Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah.
Saat tamu itu selesai mereguk air itu, pak tua berkata lagi, bagaimana rasanya”
“Segar,” sahut tamunya.
“Apakah kau merasakan garam di dalam air itu?” tanya pak tua lag.
“Tidak”, jawab si anak muda.

Dengan bijak, Pak tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. “Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.

“Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat bergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”

Pak tua itu kembali memberi nasehat. “Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi jangan jadikan hatiku seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran kebahagiaan.”
Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama beajar hari itu. Dan pak tua, si orang bijak, kembali menyimpan “segenggam garam”, untuk anak muda yang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar